Dilema Pembatasan Jam Malam; Memutus Covid-19 atau Rantai Ekonomi

Oleh: Irwansyah (ketua Umum PMII Kutim)

Rabu, 02 Desember 2020

Bacaan Lainnya

Sejak diumumkannya kasus pandemic Corona Virus (Covid-19) awal maret lalu, kemunculannya sampai hari ini masih menghantui masyarakat Indonesia, tidak terkecuali Kutai Timur. Dengan adanya Covid-19, masyarakat Kutai Timur seperti halnya masyarakat lain, menjadikan mereka merubah pola kebiasaan hidup.

Misalnya saja yang sebelumnya tidak memakai masker sekarang memakai masker, yang sebelumnya berjabat tangan sekarang menghindari, yang sebelumnya jarang mencuci tangan sekarang rajin mencuci tangan dan sebagainya. Hal itu, semata-mata dilakukan untuk mengantisipasi agar tidak terpapar Covid-19. Namun, semua itu seolah tidak menghentikan kejamnya penyebaran Covid-19. Faktanya, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kutim kian hari terus meningkat, misalnya sejak diumumkannya penyebaran Covid-19 sebanyak 4 kasus pada 10 April 2019 dan hari ini menjadi 2.569 kasus, sembuh 2.233 kasus dan yang meninggal 39 kasus.

Kemunculannya yang tiba tiba dan penyebarannya yang membabi buta membuat stuktur sosial turut berubah drastis. Kebijakan-kebijakan yang melibatkan publik dirubah mengikuti arus sebagai perlawanan terhadap pandemic Covid-19. Demikian halnya di Kutai Timur, kebijkan-kebijakan yang menyentuh publik didesain sedemikian rupa untuk memutus mata rantai Covid-19.

Salah satu yang baru-baru ini muncul edaran PJS Bupati Kutai Timur nomor: 366/668/PB.Covid-19/XI/2020 tentang pemberlakuan jam malam dan karantina terpusat. Salah satu point dari surat edaran tersebut adalah pembatasan jam malam bagi pelaku usaha seperti kafe dan sejenisnya untuk tutup lebih cepat, pada jam 22.00 Wita tempat-tempat tersebut harus ditutup dan telah dianggap selesai.

Memang kalau kita lihat perkembangannya, dari waktu ke waktu, Kutai Timur terus mengalami peningkatan yang signifikan. Namun apakah kebijakan tersebut tepat dilakukan untuk semata-mata memutus mata rantai Covid-19? Apakah pemerintah tidak melihat bagaimana masyarakat kelas ekonomi ke bawah “terkapar” bahkan terseok-seok hanya untuk bertahan hidup di tengah pandemic? Misalnya saja Anam, salah satu pemilik warung kopi di jalan di Diponegoro menceritakan lesunya penjualan akibat kebijakan penerapan jam malam. “Kami yang bekerja disini ada 3 orang, biasanya laku 15-20 gelas dimulai pukul 17.30 Wita sampai pukul 12.00 Wita, tapi karena ada pembatasan jam malam penjualan menurun dengan sangat drastis”.

Menurut penulis, pemerintah Daerah terlalu terburu-buru menetapkan aturan jam malam bagi pelaku ekonomi.

Nampaknya pemerintah tidak berkaca pada dampak ekonomi yang diakibatkan. Lihat saja berapa banyak masyarakat yang hidup dari berjualan, karena Covid-19, mereka kehilangan mata pencaharian. Nampaknya pula pemerintah Kutim tidak mengukur betul dampak ekonomi dari kebijakan tersebut.

Seandainya dipaksakan pemberlakuan jam malam secara masif, hal tersebut bisa jadi turut menyumbang peningkatan angka kemiskinan karena menurunnya pendapatan warga yang memiliki aktivitas berdagang di malam hari. Selain itu, kebijakan tersebut bisa berdampak pada psikologis masyarakat yang menjadi “ketakutan” jika melanggar aturan pemberlakuan jam malam.

Penulis heran dengan dikeluarkannya kebijakan jam malam, apa yang menjadi landasan dan basis data tentang kebijakan tersebut, pasalnya sejauh ini belum ada data atau penelitian dari pemerintah Kutai Timur tentang penularan Covid-19 yang diakibatkan oleh interaksi warga di kafe/warung-warung kopi yang buka sampai malam hari. Untuk itu, menurut penulis, sebelum membuat kebijakan pemerintah harus betul betul berbasis data yang valid, jangan sampai alih-alih memutus mata rantai Covid-19, yang terjadi malah memutus mata rantai perekonomian warganya sendiri, yang lambat laun bisa menjadi pemicu dalamnya jurang kemiskinan di Kutai Timur.

Penulis berharap, pemerintah segera mengevaluasi kebijakan tersebut, kebijakan yang diambil harusnya bukan pembatasan jam malam, tapi membuat kebijakan yang mengikat kepada pemilik-pemilik kafe/ warung kopi untuk menerapkan protokel kesehatan secara ketat, seperti adanya sarana cuci tangan, menyiapkan hand sanitezer, tempat duduk diatur dll, apabila melanggar aturan tersebut, pemilik kafe/warung kopi diberi sanksi yang menimbulkan efek jera. Dengan begitu, penulis rasa baik pelaku usaha maupun masyarakat bisa menerima dan perlahan Covid-19 bisa diatasi tanpa mengesampingkan dampak ekonomi yang lebih besar akibat pembatasan jam malam.

Comments

0 comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *