Ketika Pembelajaran Tidak Meaningfull

Oleh :
Moh. Syaiful Imron, S.Pd., M.Si
Kepala Seksi Kurikulum dan Evaluasi Pendidikan Dasar (SD)

PENGALAMANKU. Ini adalah kejadian awal saya menjadi guru pada tahun 1998. Saya adalah guru bidang studi matematika sempat mengajar salah satu sekolah swasta yang berbasis islam di Sangatta Kutai Timur. Pada saat itu saya menjelaskan tentang konsep limit suatu bilangan yang salah satunya terkait dengan definisi limit.
Saya menjelaskan persis seperti materi kalkulus lanjut yang saya terima di bangku kuliah S-1 Pendidikan Matematika. Alhamdulillah saya sempat mengenyam pendidikan sarjana di IKIP Negeri Malang ( sekarang Universitas Malang /UM) Fakultas Pendidikan Matematika dan IPA jurusan pendidikan matematika dan lulus tahun 1997. Maklum baru lulus, semangat mengajar dan idealisme masih berkobar, saya menjelskan definisi limit dengan menggunakan simbol-simbol : alpha, betha, epsilon dan lain-lain.
Dikeheningan suasana, e..e..e… tiba – tiba ada salah satu peserta didik laki-laki berdiri dan menyampaikan niatnya untuk tidak mengikuti pelajaran saya dan saya ingat betul dia berkata, “untuk apa belajar seperti ini karena nanti di alam kubur tidak ditanyakan”. Spontan darah muda saya mendesir menahan amarah yang memuncak, pada saat itu rasanya mau saya tendang bangku yang ada dihadapan karena merasa disepelekan oleh salah satu peserta didik. Akhirnya dengan lantang saya menyuruh peserta didik tersebut untuk keluar kelas dan tidak boleh mengikuti pelajaran yang saya ampu.
Sehabis mengajar saya berharap peserta didik tersebut menemui saya sekedar untuk meminta maaf kepada saya. Dalam hati saya, anak tersebut telah melakukan kesalahan karena tidak menghormati gurunya dan menyepelekan pelajaran yang diberikan. Saya pun sudah merancang apa saja yang akan saya ungkapkan kepada dia sebagai bentuk kekecewaan yang saya rasakan. Namun penantian saya sia-sia, anak tersebut tidak kunjung datang seperti yang saya harapkan.
Saya pulang dengan rasa kecewa, namun beberapa jam kemudian kekecewaan dan rasa jengkel mulai reda. Saya mulai berfikir dan intropeksi diri dari kejadian yang saya alami. Saya menemukan suatu kesadaran mungkin pelajaran yang saya sajikan ini tidak memenuhi kebutuhan atau harapan dia, mungkin bukan dia saja bahkan mungkin banyak peserta didik lainnya juga merasakan hal yang sama Cuma mereka tak berani menyuarakan isi hatinya. Sajian pelajaran hampa, kosong, tidak bermakna bahkan mungkin tidak ada hikmah yang dapat dipetik setelah proses pembelajaran usai.
Saya mulai belajar dan terus belajar bagaimana cara mengajarkan mata pelajaran matematika yang penuh dengan simbol-simbol dimana dibalik simbol-simbol itu ada kebermaknaan yang dapat ditangkap oleh peserta didik. Jika proses pembelajaran dan materi pelajaran dirasakan bermakna bagi peserta didik maka harapan terjadi perubahan akan lebih nyata. Proses pembelajaran tersebut akan memperbaharui atau menambah pengetahuan dan pengertian baik dari konsep murninya maupun dampak pengiringnya guna memperbaiki karakter relegius dan karakter sosialnya.
Saya terus belajar mencari makna materi pelajaran matematika yang saya ajarkan dengan membuat jejaring / koneksasi makna pada pelajaran yang lain khususnya pelajaran agama sehingga pelajaran yang saya sajikan lebih bermakna dan lebih riil dalam kehidupan sehari – hari yang dirasakan oleh peserta didik. Setiap mengajar saya harus mempersiapkan sebaik mungkin, cara, model atau strategi agar pembelajaran saya penuh dengan makna / meaningfull .
Pada kesempatan lain akan saya sajikan tulisan yang menceritakan sekilas pembelajaran yang saya lakukan dengan pengkaitan nilai-nilai religius. Saya sadar selama menjadi guru masih banyak yang harus diperbaiki. Tugas saya sekarang bagaimana membantu guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agar lebih baik. Semoga tugas ini bisa saya laksanakan sebaik mungkin. Aamiin ___

Comments

0 comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *