Pernahkah kamu mendengar teriakan merdeka? Masih pantaskah kata itu didengar? Kemerdekaan atau merayakan kebebasan dengan kata dasar merdeka sering sekali kita mendengarnya, baik melalui orang di sekitar, di siaran televisi, lewat tulisan, foto bahkan video di jejaring sosial media.
Kata merdeka atau ‘mardiko’ dalam bahasa sansekerta pada masa kejayaan majapahit ialah status atau sebutan untuk suatu wilayah (daerah) yang sudah berhasil di kuasai atau bebas dari pungutan pajak atau upeti kepada kerajaan majapahit.
Kata ini kemudian dipakai para pejuang kemerdekaan Indonesia pada masa pergerakan menuju hari kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945. Penetapan pekik ‘merdeka’ sebagai salam nasional bangsa Indonesia diputuskan melalui Maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945. Lalu, salam nasional ini resmi berlaku sejak tanggal 1 September 1945. Pekikan ini kemudian disahkan sebagai salam kebangsaan yang berarti kita sudah terbebas dari belenggu penjajahan era imperial dan kolonial.
Selain memiliki arti kebebasan, bentuk dan gerakannya pun sangat bermakna. Pundak sebagai topangan yang kokoh hingga lima jari tangan yang merupakan lima dasar negara yaitu pancasila.
Saya akan coba untuk mendeskripsikannya secara sederhana. Dengan telapak tangan yang dibuka, diluruskan ke samping membentuk siku-siku mengarah ke atas lalu diikuti dengan ucapan ‘merdeka!’. Maka, disahut dengan ‘merdeka!’ pula.
Gerakan ini sangat dalam maknanya. Orang yang memekikan salam ini, ia harus benar-benar mengilhami falsafah bangsa dan mempraktekkannya di kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, berani berbuat harus berani menerima konsekuensinya. Resikonya tidak merugikan diri, justru menambah keakraban kita sebagai warga negara yang beranekaragaman.
Ucapan ini sampai sekarang masih sering kita dengar pada salam pembuka acara-acara kebangsaan pada tujuhbelasan agustus atau teriakan para aktivis ekstra parlemen. Terkadang, masyarakat awam tidak memahami kata ini. Ada yang bilang, “Walahh, ini semboyan partai politik”, bahkan ada juga yang mengejek, “Hahha, ini sudah zaman kapan? Masih ada saja kata ini?”, hal-hal seperti ini yang menurut saya perlu diluruskan.
Terlepas masih pantas atau tidak, kita jangan sampai memungkiri kalau hari ini kita bisa hidup sejahtera, aman dan damai tanpa repot-repot berperang fisik atau kelaparan yang berkepanjangan. Itu karena kita sudah merdeka atau bebas dari ketertindasan.
Coba kamu bayangkan, 360 tahun lamanya kita dalam masa suram. Semua sumber daya kita di ‘hisap’. Yah benar, Sumber daya alam, manusia dan mungkin budaya Indonesia di kuras untuk memperkaya dan mempercantik beberapa negara Eropa yang sekarang kamu idamkan sebagai kota tujuan berlibur. Apa perlu saya uraikan semua sejarah kelam bangsa kita pada tulisan ini? Saya rasa, kamu sudah bisa mengaksesnya di mbah google.
Kenapa ini penting? Karena, jelas kata Bung Karno, sang penggali identitas bangsa; “Jangan sekali kali meninggalkan sejarah!”. Arti dari pernyataan proklamator di atas ialah, apabila insan bangsa meninggalkan sejarah, maka ia akan diseret oleh sejarah itu sendiri. Sehingga, salam ini menurut saya sangat penting untuk mengingatkan dan mempersatukan kita.
Penutup dari saya, seseringlah mungkin mengenal kepribadian bangsa ini, sehingga kita berjalan bahkan terbang sesuai haluan yang di gagas para founder bangsa. “Berbunga-bungalah hati kita akan keberagaman di atas tanah air ini. Karena, tanah kita menampung banyak keringat, darah dan air mata dari orang Indonesia yang berbeda-beda”.
Penulis: Choky Askar Ratulela
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Jakarta Pusat.
Comments
0 comments