Dr. Hartono
Direktur Lingkar Masyarakat Madani dan Dosen STAIS Kutai Timur
Tujuh puluh empat tahun yang lalu Indonesia telah merdeka. Usia yang begitu panjang barangkai mengajarkan kepada kita soal kedewasaan, soal pemahaman akan nilai-nilai demokrasi yang telah disepakati bersama. Salah satu dari nilai demokrasi itu adalah kebebasan berpikir dan berpendapat. Kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya memiliki korelasi yang sangat erat. Kebebasan berpikir tidak akan pernah dapat dihukumi manakala masih berada dalam alam pikir dan alam ide, ia baru mampu dihukumi manakala pikiran-pikiran tersebut tertuang dalam dunia nyata melalui berbagai instrumen yang ada. Lebih lanjut kebebasan berpikir merupakan sebuah proses mempertanyakan, menguji, menganalisa dan mengkritisi segala hal tanpa ada batasanya. Kemudian meyatakan pendapat merupakan hak yang melekat dimiliki oleh siapapun untuk meyatakan pendapatnya dimuka umum secara bertangung jawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sampai hari ini media cetak maupun elektronik ramai dengan pemberitaan soal pencekalan terhadap masyarakat yang dinilai meyudutkan institusi tertentu. Logika publik kemudian menangkap ada apa sesungguhnya sebab beberapa dekade pemerintahan yang lalu tidak pernah terjadi seperti ini, terkecuali dimasa Orde Baru. Mens rea dalam kajian ilmu hukum khususnya pidana dimaknai sebagai aspek batin, pergolakan batin seseorang bertindak dengan melihat fakta-fakta yang ada, artinya tidak akan pernah ada pergolakan batin manakala tidak ada pemicunya.
Sangat jelas, Pasal 28E UUD NKRI 1945 Ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap dengan hati nuraninya. Ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Artinya adalah, setiap masyarakat memiliki hak-hak untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya diruang publik dan semua tindakan itu dilindungi oleh UU. Sesungguhnya, ada beberapa pengkategorian mengenai hak-hak tersebut yakni hak yang boleh dicabut atau dikurangi derogable right dan hak yang tidak dapat dicabut atau dipisahkan “non-derogable right. Hak dalam kategori yang tidak dapat dicabut adalah; Pertama, hak untuk hidup; Kedua, hak bebas dari penyiksaan dengan kejam-tidak manusiawi atau merendahkan martabat; Ketiga, hak untuk bebas dari perbudakan; Keempat, hak untuk bebas dari pemenjaraan akibat ketidak sangupan memenuhi kewajiban kontrak; Kelima, hak untuk bebas sebelum dijatuhi hukuman; Keenam, hak untuk diakui sebagai pribadi hukum; dan Ketujuh, hak atas kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan beragama.
Poin ketujuh dari hak yang bersifat non-derogable right musti dijaga dan diberikan kebebasanya. Sebab konskuensi dari pilihan sistem demokrasi, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat adalah sebuah keniscayaan tidak boleh dikerdilkan, dibonsai, dikurangi, dicabut ataupun diganggu. Jangan sampai negara ini mengalami kemunduran dalam penerapan sistem demokrasi, jangan sampai pula negara atau institusi-institusi yang dimilikinya anti kritik, koreksi ataupun masukan. Tanggapan seperti yang disampaikan oleh Alissa Wahid putri mendiang Gus Dur, mengapa tidak memprotes yang membuat joke tersebut, kok malah memanggil yang memposting. Senada dengan hal itu, para tokoh juga mengkritisi mengapa musti diperiksa pengunggah guyonan Gus Dur padahal itukan hanya guyonan terlebih memiliki pesan membangun, sedangkan Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menilai “kutipan itu merupakan penggiat bagi semua institusi untuk selalu menjadi abdi masyarakat yang lurus dan jujur”.
Kedepan, menurut hemat penulis semua institusi barangkali musti mampu memilih dan memilah ketika merespon candaan maupun kritikan masyarakat, apalagi jika kritikan itu sifatnya konstruktif, membangun dan memberi semangat maka terimalah dengan lapang dada, namun demikian jika kritikan itu sebalinya sudah semestinya setiap masyarakat mampu menahan diri, mengontrol diri untuk tidak sembarangan berkomentar melalui media massa.
Comments
0 comments