Opini: Kartini, Antara Euforia dan Tragedi

Bagi para penggemar film tanah air pastinya mengetahui pada tanggal 19 April 2017 serentak tayang sebuah film yang dianggap fenomenal mewakili sejarah kebangkitan perempuan Indonesia, Kartini.

Film berdurasi 119 menit dan diharapkan bisa menjadi referensi sejarah Raden Ajeng Kartini ini bertaburan para bintang papan atas tanah air, sebut saja Ayushita Nugraha, Acha Septriasa, Deddy Soetomo, Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, dan tidak ketinggalan Reza Rahardian, serta Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran utama.

Seperti penulis baca di www.21cineplex.com, film tersebut menceritakan perjuangan emosional dari sosok Kartini yang harus melawan tradisi dan bahkan menentang keluarganya sendiri untuk memperjuangkan kesetaraan hak semua orang di Indonesia, namun justru di keluarganya dia menghadapi kenyataan Ngasirah, ibu kandungnya menjadi orang yang terbuang di rumahnya sendiri, dianggap pembantu hanya karena tidak mempunyai darah ningrat.

Apakah penulis menyarankan Anda untuk wajib menonton film tersebut? Tidak juga. Karena sebenarnya bukan hal itu yang menjadi pemikiran saat ini. Justru berjuta tanya tanpa jawab acapkali muncul di benak penulis setiap menjelang peringatan hari Kartini.

Setiap tanggal 21 April tiba-tiba saja segenap penjuru penuh dengan para perempuan berkebaya, sekolah-sekolah dan juga mall sibuk memgadakan lomba ala Raden Ajeng Kartini. Lagu nasional Ibu Kita Kartini pun berkumandang di mana-mana. Sejarah Kartini dibacakan dalam apel pagi memperingati hari lahirnya. Kata emansipasi seolah menjadi menu wajib disebut dalam setiap pemberitaan. Dan beberapa hari setelahnya, semua euforia itupun lenyap tak berbekas.

Demikianlah, hal itu terus berulang setiap tahunnya. Kartini dianggap sebagai pahlawan kesetaraan gender, pejuang hak-hak perempuan. Kartini yang diceritakan dalam sejarah pada usia 12 tahun dilarang melanjutkan studi setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Kartini, yang dalam masa pingitannya kemudian seringkali menulis surat kepada sahabat Belandanya, Rosa Abendanon.

Akan tetapi, kejelasan arah emansipasi yang diangkat Kartini di kalangan masyarakat masih nampak abu-abu. Hal ini lantaran didasarkan tanpa penelaahan lebih dalam terhadap latar belakang historis kehidupannya.

Berdasarkan buku  “Tragedi Kartini” oleh Asma Karimah  (1986), terdapat tiga masa pemikiran Kartini selama surat menyuratnya.

Pertama, masa adat Kartini. Pada masa ini Kartini yang memang keturunan Jawa banyak mengkritisi kehidupan adat masyarakat Jawa dilingkungan ningratnya.

Masa kedua yakni masa Barat Kartini. Aktivitas surat menyurat Kartini hampir keseluruhannya ditujukan kepada teman baratnya. Sebut saja Mr. Abendanon, Nyonya Abendanon, Annie Glesser, Stella, dan Ir. H. Van Kol. Dalam buku “Tragedi Kartini” tokoh-tokoh tersebut justru dinyatakan membawa misi terselubung terhadap Kartini. Politik Asosiasi, mereka gunakan untuk memasukkan peradaban barat Barat dalam masyarakat pribumi. Dan harapan mereka, melalui Kartini yang merupakan priyayilah misi tersebut dapat terlaksana. “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; Orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa, ” demikian surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899.

Masa ketiga, merupakan masa pencerahan bagi Kartini. Surat-surat yang ditulis sebelum Kartini wafat, banyak mengulang kata-kata “Door Duisternis Tot Licht,” secara harfiah diartikan “Dari Kegelapan Menuju Cahaya, ” kalimat yang sebenarnya dimunculkan Kartini, terinspirasi potongan Surah Al-Baqarah:257 “minadz-dzulumati ilannur. ” Hal itu dicetuskan oleh Kartini, usai pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat, seorang ulama besar dari Darat, Semarang. Kartini yang berjiwa pembelajar menanyakan kepada sang ustadz tentang terjemahan Bahasa Indonesia/Jawa dari Alqur’an.

Kartini pada masa ini menyadari hakikat dirinya. “Sudah lewat masanya. Tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri mulia… ” surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902.

Kartini mengalami sejarah panjang dalam kehidupannya, namun yang nampak di masyarakat hanyalah satu isu, bahwa Kartini memperjuangkan emansipasi. Kata emansipasi yang umumnya dipahami mengurus kesetaraan wanita dan laki-laki dalam segala bidang.

Padahal, sebuah penggalan surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya,  4 Oktober 1902, mematahkan hal itu semua. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar kaum wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. ”

Demikianlah gagasan sebenarnya dari seorang Raden Ajeng Kartini. Gagasan yang bermuara pada satu hal pasti, kesadaran. Kartini sebenarnya ingin menyadarkan tentang kewajiban menimba ilmu bagi kaum perempuan. Pepatah mengatakan, wanita adalah tiang negara. Maka upaya mencerdaskan kaum perempuan dalam suatu negara merupakan tanggung jawab setiap elemen negeri.

Menjadikan Kartini sebagai sosok pahlawan sebenarnya sah-sah saja. Namun akan lebih baik lagi jika berlandaskan kepahaman integral terhadap perjuangan Kartini itu sendiri. Agar emansipasi yang digembor-gemborkan bukanlah emansipasi salah kaprah berujung tragedi dan bukan lagi saatnya Hari Kartini dirayakan dengan sekedar euforia pemilihan model ala Kartini-Kartinian.

(Eka Dirnawati; disarikan dari berbagai sumber).

Comments

0 comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *