
Oleh : Randi Muhammad Gumilang
(Alumni PMII Kutai Timur)
PROLOG
Pada medio awal tahun 2023, tepatnya dibulan Maret & April saya berkesempatan melakukan kegiatan penelitian lapangan. Sebuah aktivitas yang lumrah bagi seorang akademisi. Hal yang membuat aktivitas tersebut menjadi berkesan dan saya pikir layak untuk dibagikan ialah refleksi yang mungkin relate dengan aktivitas dalam dunia pergerakan. Namun demikian, pada perjalanan ini ada semacam framing ideologis yang dibawa terutama setelah membaca karya-karya Post-Kolonial dari Edward Said, V.S. Naipaul, Ranajit Guha, Gayatri C. Spivak dan lainnya. Serta 2 sosiolog kenamaan Antonio Gramsci & Michel Foucault. Untuk semua karya yang saya sebutkan tersebut, saya sangat berterimakasih sekaligus berhutang pada koleksi-koleksi pribadi Alm. Prof.Safwan Idris di Perpustakaan pascasarjana UIN Ar-Raniry.
Saya memulai perjalanan penelitian dari Kota Pontianak, Kalimantan Barat dan direncanakan tuntas di Sangata, Kutai Timur. Perjalanan berlangsung selama lebih dari 2 Minggu. Perjalanan ini saya beri tajuk “Berjalan dari Barat ke Timur Borneo; Menemukan sesuatu yang tidak terlihat dari apa yang terlihat”
Sanggau; Sawit Sejauh Mata Memandang, Kalimantan Barat
Apa yang saya lihat persis atau bahkan lebih besar dari apa yang digambarkan oleh Tania Murray Li & Pudjo Semedi dalam karya Antropologi “Hidup Bersama Raksasa: Manusia & Pendudukan Perkebunan Sawit”, sekilas hamparan perkebunan sawit yang luas dan lalu- lalang kendaraan serta rutinitas masyarakat tampak wajar atau boleh dibilang menggeliat dengan sangat baik. Roda Ekonomi berputar, tarap hidup meningkat dan pembangunan fisik terlaksana.
Namun, dibalik hamparan sawit yang luas, kerja-kerja akademik mengungkapkan kegetiran yang mengenaskan. Terhimpitnya ruang hidup, penyerobotan lahan, upah murah, premanisme dan degradasi moral-sosial adalah sekelumit masalah yang enggan dibicarakan atas nama kepantasan. Ancaman konflik horizontal meruncing, mengingatkan kembali peristiwa kelam kerusuhan SARA di Sambas dan Sampit yang sebenarya terjadi akibat ketimpangan sosial yang dibiarkan menganga. Hidup menjadi seakan lebih pantas ‘berduit’, daripada hidup bermartabat sebagai hamba yang percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang hakiki.
Laman Kinipan, Lamndau, Kalimantan Tengah.
Saya tinggalkan Sanggau, bergerak menuju kampung para ‘Kesatria’, Laman (Desa) Kinipan. Efendi Buhing namanya, asing bagi generasi belakangan, tapi pada medio 2019-2020 ‘he was the news maker’. Bagaimana tidak saat sekelompok Polisi menyergap dan membawanya pergi dari Desa dalam upaya Kriminalisasi paling epik, serta menyita pergatian khalayak. Perjumpaan dengan Pak Efendi memberikan perspektif menarik bahwa perlawanan tidak melulu menjadi milik eksklusif kaum terpelajar (pergerakan).
Konteks situasinya adalah kurang lebih 3000 hektare lahan tanah adat yang diserobot, adalah musabab yang lebih dari cukup untuk berlawan terhadap oligarki. Saat ruang hidup terhimpit, tanah leluhur dirampas dan hajat hidup renggut, kriminalisasi aparat, maka satu- satunya cara adalah LAWAN. Perlanwanan sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, masyarakat terkuras tenaga, waktu dan pikiran. Sementara oligarki terus menangguk keuntungan, birokrat berpesta diatas kekuasaan. Kata pak Efendi ‘baik kicing, pada buta’, maksudnya dari 6000 hektare tanah adat, separohnya sudah hilang. Maka dari itu permintaan masyarakat sederhana, tolong jangan dilanjutkan lagi, jangan sampai dibabat habis hutan adat kami. Masyarakat tidak membenci (menolak) Sawit, sebab sawit memberikan pendapatan yang menopang penghidupan. Hal yang ditolak adalah perusahaan yang rakus merampas tanah, ruang hidup, merubah struktur sosial masyarakat dan menciptakan ketimpangan moral. Walau itu tidak selalu disadari, hanya soal waktu yang meberikan jawaban untuk belajar bagaimana kenestapaan adalah nyanyian kehidupan yang berulang.
Dibalik Dongeng ‘Saranjana’, Kalimantan Selatan.
Saranjana Kota Gaib yang mahsyur, menjadi trending pembicaraan di sosial media, khususnya Twitter. netizen tertarik dengan kisah kemajuan negerinya, manusia-manusia nya dan hal-ikhwal keghaibannya. Tapi demikianlah cara kerja realisme magis, jika gagal dilihat dengan baik maka hanya tinggal magisnya. Di-gloryfikasi sedemikian rupa, sehingga mengaburkan fakta kehidupan yang sebenanrnya. Saya tidak menemukan tiket menuju Saranjana (itu bukan sebuah kejutan), karena memang tidak ada. Tapi apa yang saya temukan adalah situs-situs mati dan hidup dari geliat industri ekstraktif pertambangan.
Disebuah warung, seorang Kaik (Kakek) bercerita tentang Batubara Karungan. Sebuah memori tentang bagaimana demam batubara merubah desa dan penghidupan masyarakat. Lahan digali, bukit-gunung di ratakan, hutan dibabat, dan sawah berganti rupa menjadi areal tambang. Kini warga memang tidak lagi menggunakan karung, berganti rupa dengan puluhan perusahaan yang ditandai oleh gelombang pekerja, lalulintas kendaraan dan tentunya putaran belanja masyarakat. Magis sebenarnya mungkin bukan Saranjana, akan tetapi kapitalisasi modal yang menggurita sehingga melahirkan para ‘haji-haji batubara’ yang menjadi ‘Sultan’ sebagai icon kekayaan tanah Banua. Secara kokoh terbangun relasi hagemonik sebagaimana yang diungkapkan Antonio Gramsci, relasi yang menguasai kehidupan masyarakat melalui hubungan mesra antara pengusaha, penguasa & tokoh agama. Tapi jangan lupa pada 2021 banjir melanda sebagian besar wilayah kalimantan Selatan, melumpuhkan kehidupan dan menyengsarakan ratusan ribu (jika tidak jutaan jiwa).
Kesah ‘Ibu Kota’ di Odah Etam
Setibanya diwilayah Kaltim, kawasan pertama yang saya kunjungi adalah IKN. tempat yang sedari awal didengar, terasa bergelayut berbagai pertanyaan yang bersifat otokritik (Sebab jika mengkritik pemerintah bisa lain ceritanya). Hal pertama tentu saja, apakah masyarakat kaltim (saya) siap menyambut IKN? jika siap, lantas sudah menyiapkan apa?
Kekhawatiran pertama tentu saja terkait dengan kesiapan pembangunan manusia, bahwa apa yang sudah menjadi mandat pembangunan akan berkeonsekuensi logis dengan subjek pembangunan itu sendiri. Artinya, jika manusia setempat atau sekitarnya tidak mampu bersaing dalam roda pembangunan, maka bersiaplah untuk menjadi penonton, atau paling buruk adalah menjadi korban dari pembangunan. kekhawatiran ini berdasar, seperti nasib Suku Balik yang berada disekitar wilayah Sepaku yang menjadi Subaltern sebagaimana tesis dari Gayatri C. Spivak. Kehadiran IKN sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) memaksa mereka untuk tersingkir dari tanah ulayat nya, dari ruang hidup nya, dari sumber penghidupannya. Tidak banyak yang bisa dilakukan, ketika semua instrumen negara mengambil peran dan mendapat afirmasi atas nama pembangunan. Tapi nasib mereka patut diceritakan, sebagai prasasti otentik nasib orang pinggiran (yang tepinggirkan).
Sangatta; Panggung Reflektif
Sangatta ‘Sangat banyak cerita’ sebuah frasa yang bisa begitu satir dalam benak saya. Sangat banyak cerita dapat dimaknai secara entolingusitik (bahasa Kutai) ‘Banyak kesah’. Walaupun dalam cerita nya hanya itu-itu saja, sebagimana memori 15 tahun yang dihabiskan di Kota ini. Tapi disini saya tidak ingin membicarakan tentang Sawit atau Tambang. Mengapa demikian? Sebab seperti kata Alexei Yurchak, Everything Forever, Untill Was No More (terjemahan filosofisnya; Semuanya abadi, sampai tidak tersisa sama sekali), dan saya sangat mengenali seluk-beluk kehidupan di kota ini. Saya ingin bercerita tentang para orangtua, anak-anak muda, perempuan dan siapaun yang saya temui di Kedai Kopi, Panggung Diskusi, Pasar atau majelis gibah di gang-gang pemukiman penduduk.
Sebagai daerah dengan pembangunan berbasis Ekonomi Ekstraktif rasanya tidak ada progres berarti dalam hal kepemimpinan, baik dalam inovasi pembangunan maupun percepatannya. Semua terasa berjalan flat, sesekali ada riak-riak getir teriakan soal perimbangan dana bagi hasil atau (jika terulang) OTT penjabat daerah. Sisanya berjalan dalam kebisuan yang menjemukan. Sebenarnya persoalan ada begitu banyak, tetapi Kebisuan yang bermuara dari Nalar Kritis yang dangkal hampir tidak ada obat. Berbagai persoalan yang luput dibicarakan Seperti utopia pendidikan gratis yang menghabiskan uang milyaran, tapi menyisakan distopia dari ketimpangan akses bagi pendidikan anak-anak yang ada di TPA Batota, kampung Melawan dan kawasan lainnya. kemduian, Perambahan Taman Nasional Kutai (TNK), konflik Tenurial, Konservasi Setengah Hati yang membinasakan Orang Hutan disekitar wilayah Pertambangan atau politik Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) yang berkorelasi dengan eksplorasi dan eksploitasi Pabrik Semen di Kawasan Karst Sekerat, Bengalon-Sangkilirang. Hingga hubungannya dengan mega-proyek pembangunan IKN. Daftar ini bisa sangat panjang, jika para manusia-manusia yang berkesdaran tidak terjebak dalam ‘Pragmatisme Sempit’ atau mengabaikan ‘Nalar Kritis’ dengan berbagai dalih kepengecutan, baik dalam baju kepentingan baik secara etnis, agama maupun politik.
EPILOG
Sebagai seorang kader pergerakan penting untuk melihat segala sesuatunya secara holistik (menyeluruh) untuk menemukan perspektif yang tepat dari setiap gagasan yang ditawarkan dalam panggung kehidupan. Perspektif tersebut layaknya filsafat yang digunakan untuk memperjelas konsep, menyusun argument dan mengkritisi apa yang semestinya menjadi tugas mulia manusia kader ulul albab. Tidak perlu takut untuk mengkritik, sebagaimana kita tidak perlu takut untuk dikritik. Sebab untuk hidup yang bertanggung jawab maka sering-sering lah bertanya “mengapa” pada berbagai aspek dalam kehidupan kita, baik secara personal maupun komunal, terlebih secara struktural. Seperti itulah semestinya jika kita hendak memainkan peran dalam pembangunan di daerah, sebagai wujud aktualisasi dari nilai dzikir, fikir dan amal shaleh. #tabik_RMG
Nb. Tulisan ini dibuat sebagai bacaan reflektif untuk Alumni PMII menjelang Muscab II IKA PMII Kutai Timur











