Oleh Khoerul Annam
Berbicara santri, siapa santri itu?. Apa indikator konkrit seseorang untuk bisa sah disebut sebagai santri?
Umumnya santri dapat didefinisikan sebagai orang yang menempuh pendidikan dan mendalami ajaran Islam dalam lembaga Pondok Pesantren, dididik dan diasuh oleh Kyai atau Ustadz. Belakangan pemaknaan sosok santri menjadi lebih luas. Seperti yang disampaikan oleh Gus Mus. “Santri bukanlah orang yang mondok saja, namun orang yang berakhklaq seperti santri adalah santri”. Ia ingin memberi pesan moral kepada khalayak bahwa santri adalah mereka yang menerapkan akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, laku santri bisa dipresentasikan siapapun meski tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren.
Terlepas dari pesan diatas, idealnya rutinitas santri sangat erat dengan hal-hal yang berbau religi Islam. Rutinitas mengaji sorogan dan matla’ah kitab-kitab, dari kitab klasik (kitab kuning) sampai kitab-kitab kontemporer adalah komponen wajib yang harus dijalani santri. Santri juga dilatih menjadi pendakwah (mubaligh) untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Penilaian yang men-judge bahwa santri sangat bisa dan menguasai agama menjamur diberbagai lapisan umat Islam. Di Desa-desa mudah ditemukan umat Islam yang menglorifikasi santri, yang menunjukkan betapa besar ekspektasi publik terhadap santri. Ini pula yang menjadi tantangan bagi santri ketika boyong alias mudik ke kampung halamannya.
Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat, tantangan santri semakin kompleks. Metode dakwah dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman, kalau tidak mau umat Islam semakin jauh dari syariat . Tuntutan dan perkembangan zaman yang dinamis dan terus berkembang menjadi tuntutan baru kaum santri untuk semakin giat mengumpulkan bekal pengetahuan (knowledge) untuk memenuhi kebutuhan umat hari ini. Belum lagi, perubahan zaman juga berimplikasi pada derasnya perubahan paradigma masyarakat terhadap Islam yang semakin heterogen.
Untuk itu, pembenahan tata kelola Pesantren menjadi sangat diperlukan. Pesantren harus mampu membekali pengetahuan dan keahlian para ustadz dan kyai untuk mulai mengikuti tuntutan zaman. Tentu tidak mudah dan membutuhkan proses yang tidak sebentar untuk memfasilitasi dan menambahkan komponen-komponen baru itu. Terlebih umumnya pesantren yang ada di Indonesia terbiasa menggunakan metode pengajaran gaya klasik (tradisionalis) dengan kitab-kitab keilmuan klasik pula. Pesantren dan santri dituntut harus keluar dari zona nyaman untuk turut menekuni keilmuan lain, seperti perihal kebangsaan dan teknologi.
Studi pemahaman kebangsaan dikalangan santri sebenarnya sudah dimulai jauh-jauh hari. Sebut saja Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau memerintahkan kepada seluruh santri dan masyarakat untuk mempertahankan tanah air dari ancaman invasi milite Inggris. Penetapan hari santri sebagai hari nasional saat ini juga berakar dari Resolusi Jihad. Ini berarti penanaman semangat kebangsaan dan bela tanah air dikalangan santri telah berlangsung lama. Hanya saja jika dulu, paham kebangsaan itu dipelajari untuk menghadapi perang senjata dengan kaum penjajah, maka hari ini santri harus berhadapan dengan perang pemikiran. Radikalisme, intoleransi dan ekstrimisme dalam tubuh umat Islam adalah sederet pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kaum santri.
Maraknya faham Islam yang cenderung ekstrim menyasar kaum kota yang awam dalam pemahaman agama. Kalangan pemuda dan mahasiswa adalah sasaran empuk, karena umumnya mereka mempelajari sesuatu termasuk agama melalui media sosial. Penggerak Islam ekstrim ini, berhasil lebih dulu menyajikan konten dan bahan dakwah yang menarik dan dibuat seakan sangat Islami. Itulah mengapa santri penting untuk paham dan menguasai teknologi dan media, mengingat propaganda dan narasi ujaran kebencian tidak hanya dikampanyekan ditengah masyarakat namun juga gencar memanfaatkan tekhnologi di dunia maya. Santri harus mengambil peran sebagai penyedia kontra narasi provokatif dan intoleran yang menyulut permusuhan dalam berbangsa dan bernegara dimedan ini.
Radikalisme dan fanatisme juga berhasil merambah ke dunia perguruan tinggi di Indonesia. BIN melaporkan setidaknya ada 7 kampus ternama yang sudah menunjukan indikasi nyata terjangkit faham radikalisme. Harus disadari ini merupakan tugas tambahan bagi para santri yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Jika tidak perpecahan akibat ekslusifitas dan fanatisme atas nama agama hanya menunggu waktu.
Santri hari ini harus mampu membaca dan menganalisa indikasi tersebut. Mereka harus mulai meng-upgrade wawasan dan pengetahuan. Karena elemen santri adalah salah satu elemen yang sulit disusupi faham-faham radikalisme. Dengan catatan ia terdidik dalam pesantren yang terbentengi oleh faham aswaja dan semangat kebangsaan yang kuat, menjunjung tinggi ukhuwah wathaniyah.
Selain teknologi, pemahaman moderasi beragama juga sangat penting ditanamkan dikalangan kaum santri. Ini berangkat dari kesepahaman bahwa semua agama membawa misi perdamaian. Santri harus bisa memahamkan umat bahwa Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang menerima terhadap semua kalangan, bukan muslim saja. Sejalan dengan ungkapan Sayyidina Ali,”Yang bukan saudaramu seiman adalah saudaramu dalam kemanusiaan”. Siapapun manusia disekitar kita yang beragama, baik Hindu, Kristen, Budha, dan Konghucu adalah saudara yang harus kita lindungi dan junjung tinggi hak-haknya.
Santri harus bisa menjadi aktor utama dalam menegakkan nilai-nilai ahlusunnah wal jama’ah, seperti tawassuth, tasammuh, tawazzun dan adl’. Siapapun, selama berakhlak seperti santri adalah santri. Kepada santri dititipkan rumah besar NKRI. Selamat Hari Santri Nasional 2020.
Comments
0 comments