Masyarakat Adat Dalam Dinamika Kepentingan Pemerintah Daerah dan Korporasi Tambang Batu Bara di Kutai Timur

Harian Kutim.com, Sangatta -Kutai Timur merupakan daerah yang Multikultural yang memiliki begitu banyak suku dan budaya, merujuk pada sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik ( BPS ) Kutai Timur tahun 2021, Kutai Timur memiliki sekitar 11 suku bangsa dengan banyak keanekaragaman di dalamnya.

Tentunya dengan keanekaragaman hukum dan tradisi dalam masyarakat adat, banyak terjadi dinamika sosial dan poltik dengan kekuasaan alat – alat pemerintahan, terlebih lagi seakan –akan pejabat-pejabat pemerintah daerah Kutai Timur cenderung tutup mata akan masalah yang cenderung bersinggungan dengan masyarakat adat.

Jika kita melihat dinamika persoalan antara masyarakat adat dan pola kekuasaan di Kutai Timur, konflik yang terjadi di dominasi oleh persinggungan kepentingan antara kepentingan penguasaan lahan dan eksploitasi besar-besaran oleh korporasi dengan mendapatkan “lampu hijau” dari 5 pejabat penyelenggara pemerintahan Kutai Timur dengan dalih untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Seperti yang terjadi pada kelompok tani Taman Dayak Basap yang memenangkan gugatan hak penguasaan lahan seluas 152,3 hektare yang terletak di Bajang Tidung, Desa Sepaso, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur. Dalam keputusan Pengadilan Negeri Sangatta pada putusan No 20 /Pdt.G/2020/PN, pihak PT.KPC diperintahkan untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengeketa, namun apa yang terjadi??? Tentu sudah bisa di tebak, pihak korporasi masih dengan bebasnya melintasi lahan yang seharusnya sudah bisa digunakan oleh kelompk tani tersebut dalam bermata pencaharian,ini korporasi layaknya seperti model pakaian yang melenggak lenggok dengan syahdunya di atas catwalk peragaan busana.

Dalam kasus lain yang terjadi pada saat perpanjangan perizinan PT.KPC yang terjadi sekitar medio akhir tahun 2021, 5 pejabata penyelanggara pemerintahan bersama dengan korporasi tersebut melakukan tanda tangan komitment di Jakarta atas nama “pembangunan Kutai Timur”. Tentu penandatanganan itu menjadi tolak ukur pemerintah yang mengeyampingkan permasalahan masyarakat adat yang ada di Kutai Timur, terlebih ada permasalahan kelompok tani Taman Dayak Basap yang belum “merdeka” dalam mendapatkan hak-haknya.

Itu hanyalah dua permasalahan yang telah terjadi,kita hanya menunggu permasalahan yang timbul di masa yang akan di hadapi oleh masyarakat adat di Kutai Timur, lalu pertanyaan nya “bagaimana penyelenggara pemerintahan kita meminimalisir permasalahan yang akan terjadi pada masyarakat adat di masa depan?”.

Padahal berdasarkan pasal 18 B Ayat 2 UUD 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Selain pasal 18 B Ayat 2, Negara juga menjamin penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban ini termaktub dalam pasal 28 I Ayat 3, serta penghormatan pada kebudayaan dan bahasa daerah yang berkembang di masyarakat (Pasal 32 Ayat 1 dan Ayat 2).

Namun sayangnya Undang-undang itu hanyalah sebatas tulisan di kertas putih, namun tidak sebuah implementasi yang harus di ikuti oleh penyelenggara pemerintahan daerah Kutai Timur. Hal ini amat di sayangkan, kekuasaan hak-hak masyarakat adat di Kutai Timur tidak lagi dipandang sebagai kekuasaan mikro yang berkaitan dengan strategi kekuasaan secara makro oleh unsur-unsur pemerintahan suatu negara yaitu penyelenggara pemerintahan di daerah untuk terciptanya kehidupan negara dan kehidupan daerah yang harmoni dan produktif.

Dominasi kepentingan terlalu kuat dan mengakar yang mengakibatkan penderitaan bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat di Kutai Timur. Jangan sampai jargon menat kembali untuk Kutai Timur lebih sejahtera menjadi sebuah narasi menjadi sebuah narasi “pepesan kosong” yang menodai hak-hak masyarakat adat di Kutai Timur.

Gejolak nafsu investasi korporasi untuk pertumbuhan ekonomi yang menjadi alasan penyelanggara pemerintah daerah Kutai Timur memang sangat di butuhkan oleh masyarakat Kutai Timur namun tidak menimbulkan permasalahan dan menggerus hak-hak masyarakat adat di Kutai Timur yang multi etnis, karena hak masyarakat adat juga merupakan sebuah entitas hak asasi manusia yang harus di hormati serta untuk menjaga keharmonisan lingkungan dan manusia yang ada di dalamnya sebagai variabel yang tidak kalah penting sehingga harus ditegakkan dalam sebuah kebijakan politik ekonomi untuk Kutai Timur.(*)

Comments

0 comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *